Seni Tawar Menawar

Tulisan I

Semakin hari di Jakarta maupun kota-kota besarnya lainnya di seputar Indonesia mulai kehilangan satu-persatu pasar tradisionalnya. Demi alasan modernisasi dan kapitalisme maka pasar-pasar modern yang mengemas barang-barangnya lebih apik dibanding pasar tradisional semakin membius warga Indonesia belum lagi dengan iming-iming diskon yang setiap minggu menjadi daya tariknya. Pasar tradisional yang kerapkali kotor becek dan terletak di alam terbuka, thus, bila hujan konsumen dan pedagang sama sama kehujanan dan bila panas kepanasan membuat suasana tidak senyaman carrefour misalnya.

Tetapi memang begitu yang namanya pasar tradisional, becek terutama terutama di negara-negara Asia Tenggara. Bahkan untuk pasar-pasar yang sudah relokasi kedalam gedung-gedung milik PD Pasar jaya tidak bisa menghilangkan atmosfir ketradisionalannya, lupakan lantunan lagu-lagu pop yang sedang hits ketika anda belanja di sana. Bilapun ada terdengar musik maka itupun saling tumpang tindih karena terdengar dari beberapa toko berbeda. Belum lagi gang-gang yang sempit akibat dijejali orang-orang baik konsumen dan pelayan toko yang tidak muat lagi berada di dalam akibat dipenuhi barang-barang dagangannya sampai keluar-luar.

Pun begitu ditengah-tengah pelbagai ketidaknyaman, pasar tradisional masih menjadi tempat favorit bagi kebanyakan warga, ibu-ibu tentu saja. Disamping kabarnya pasar tradisional mematok harga yang lebih murah dibanding beberapa pasar modern yang ada. Kesempatan berkunjung pada pasar tradisional menjadi sebuah tradisi dalam bersosialisasi dengan beberapa tetangga yang kebetulan pada waktu yang bersamaan.

Pasar tradisional memang biasanya mendekati pemukiman warga, entah memanfaatkan lahan yang kosong atau jalan-jalan di seputar perumahan yang cukup strategis. Dan karena pengunjungnya warga sekitar saja yang notabene sudah saling kenal maka kesempatan berbelanja di sana dijadikan untuk bertukar kabar. Pasar tradisional akan semakin ramai sebagai pusat pertukaran kabar terutama bila berada pada lingkungan yang ibu-ibunya memiliki waktu luang lebih atau bahkan sama sekali tidak bekerja.

Di Indonesia sendiri menurut Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), jumlah pasar tradisional yang berpotensi menjadi pasar grosir berjumlah kurang lebih 150 buah. Keberadaan mereka kian mari kian terancam karena kebijakan pemerintah daerah yang sepertinya kurang memperhatikan kesehatan persaingan antara pasar modern dan pasar tradisonal. Sejumlah pasar tersebut dibeberapa kota besar mempunyai letak lokasi yang strategis. Berdasarkan data dari Asparindo, pasar tradisional yang berletak strategis diantaranya seperti di Jakarta terdapat pasar tradisional Jatinegara, Glodok, Senen, dan Tomang. Di Yogyakarta terdapat pasar tradisional Bringharjo. Di Surabaya terdapat pasar tradisional Wonokromo, dan Turi. Tentusaja letak yang strategis membuat pasar modern juga ingin berbagi "kue" yang sama. Walaupun biasanya keberadaan pasar modern hanya menjadi ancaman bagi pedagang lama.

Satu hal juga yang pasti kenapa pasar tradisional masih menjadi pilihan adalah kebebasan untuk menawar barang dagangan yang dijajakan. Menawar membawa kepuasaan tersendiri bagi konsumen. Merasa mendapatkan barang lebih murah dan mengalahkan harga yang dipasang pedagang adalah sebuat sepiritulisme (baca: nyawa) jual beli dalam pasar tradisional. Berbeda dengan harga tetap terpasang disetiap barang adalah "harga yang harus dibayar" oleh para pembeli di pasar modern.

Tradisi tawar menawar di sekitar kita ternyata sudah demikian uniknya. Tidak hanya ibu-ibu ternyata kebiasaan ini juga biasa dilakukan oleh bapak-bapak, walau mungkin tidak segigih dan sesadis isteri mereka. Di Padang misalnya dikenal dengan sebuah kebiasaan tawar menawar yang cukup menarik dikenal dengan marosok. Marosok berlangsung antara penjual-pembeli seperti orang bersalam-salaman. Tangan yang bersalaman itu selalu ditutupi benda lain, seperti sarung, baju atau topi. Setiap jari melambangkan nilai uang.

Transaksi cukup dilakukan "berduaan" antara penjual dan pembeli dengan menggunakan bahasa isyarat. Tanpa omongan, pedagang-pembeli cukup bersalaman dan memainkan masing-masing jari tangan untuk bertransaksi. Namun begitu, kedua tangan yang berjabat tidak terlihat orang di luar penjual-pembeli. Sebab, tangan yang bersalaman itu selalu ditutupi benda lain, seperti sarung, baju atau topi. Tujuannya agar orang lain tak melihat proses transaksi tersebut. Dengan begitu, harga ternak hanya diketahui antara penjual dan pembeli.

Sewaktu tawar menawar berlangsung, penjual dan pembeli saling menggenggam, memegang jari, menggoyang ke kiri dan ke kanan. Jika transaksi berhasil, setiap tangan saling melepaskan. Sebaliknya, jika harga belum cocok, tangan tetap menggenggam erat tangan yang lain seraya menawarkan harga baru yang bisa disepakati.

Para pedagang ber-marosok agar harga ternak yang dibelinya tidak diketahui oleh banyak orang. Transaksi berduaan seperti itu memang jamak dilakukan di setiap pasar ternak, tentu saja dengan cara yang disepakati masyarakat masing-masing daerah. Tak ada yang mengetahui secara pasti, kapan marosok ini bermula. Sejumlah pedagang ternak hanya mengakui, tradisi ini sudah dimulai sejak zaman raja-raja di Minangkabau dan diterima secara turun temurun (liputan6.com)

Kabarnya akibat sedemikian getolnya orang-orang Indonesia menawar setiapkali beberalanja membuat pedagang Pasar Seng di Arab Saudi, yang sekarang sudah tergusur akibat perluasaan Masjidil Haram mahfum. Sebenarnya menawar barang dagangan di sana sangat tidak etis dan dianggap menghina, namun setelah (ibu-ibu) Indonesia banyak berbelanja di sana membuat mereka faham bahkan akhirnya ikut-ikut menawarkan dagangannya dengan "bisa ditawar, bisa ditawar".

Yah, akhirnya setelah pasar tradisional kita menjadi bulan-bulanan pasar modern ada juga satu-dua hal yang berasal dari nilai-nilai pasar tradisional Indonesia kita eksport, tidak tanggung-tanggung bahkan sampai Arab Saudi.

Tulisan 2

Ketika tergesa menuju ke sebuah resto yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan untuk janjian makan siang bareng teman, langkah aa terhenti di depan meja yang menggelar barang dagangan berupa pernak-pernik khas cowok. Barang-barang yang dominan tampak berjejer terdiri dari ikat pinggang, kotak rokok, dan korek gas. Berbagai macam bentuk dan warna.

Tangannya yang erat menggamit lenganku, tak urung membuat langkahku tertahan. Pengen beli apa, say? tanyaku, yang dijawabnya dengan meraih sebuah korek gas mungil berentuk persegi 2,5 X 5 cm. Oalaaahhh!

Aku tak berkomentar banyak, karena memang sudah lama dia ‘merayu’ minta dibelikan korek gas yang baru setelah korek gas kesayangannya— korek gak tipis berwarna metalik dengan nyala api biru— hilang entah di mana. Korek gas ini aku juga yang memilihkan buat aa, kami beli di sebuah emperan pusat penjualan handphone. Setelah hilang, aku belum sempat membelikan gantinya, tepatnya sih agak mengabaikan, karena toh, kupikir korek gas biasa seharga 2000an bermerek ‘Tokai’ sudah cukup.

Kali ini aku tidak bisa menolak keinginannya. “Pilih yang mana ya, dik?” katanya meminta pertimbanganku. Ada yang berwarna merah, coklat agak berwarna perunggu dan yang berwarna metalik.

“Terserah aa, sukanya yang mana. Kayanya sama-sama lucu deh!” jawabku. Dia cenderung memilih wang berwarna perunggu. Aku memilih sebuah korek tipis berwarna metalik, dan kucoba menyalakannya. Aa juga mencoba menyalakan korek yang ia pegang. Tidak ada masalah.

Oke. Sekarang masalah harga.

“Berapaan nih bang?” tanyaku pada si Abang penjual.

“Wah yang ini agak mahal bu, empatpuluh lima…”

“Idih, mahal amat! enggak segitu kali bang” tukasku cepat. Aa berdiri diam di sampingku. Soal tawar-menawar dia tidak kuijinkan ikut campur. Jadi dia memilih melanjutkan acara memilih korek gas.

“Bisa kurang sedikit, bu”

“Lha, ya jangan sedikit. Masa korek mahal begini. Kalau boleh sepuluh deh!”. Kuajukan tawaran terendah. Ini merupakan jurus menaksir harga barang. Biasanya si penjual akan menawarkan dagangannya 2 X lipat harga sebenarnya. Bila dia menawarkan Rp 45.000, berarti harga barangnya paling mahal sekitar Rp 22.500. Taksiranku sih, harga korek gas itu hanya sekitar Rp 15.000, sehingga kumulai tawaran dari harga Rp 10.000.

“Wah, segitu mana dapat bu. Tigalima lah!” kilahnya sambil sedikit memonyongkan bibir dan menggelengkan kepala.

“Segitu aja deh, bang. Kalau mau sih” Cepat-cepat kugamit tangan aa. Ini adalah efek mendramatisir suasana tawar-menawar. Kalau mau ya oke, enggak ya kami pergi. Itu maksudnya.

“Tambah deh bu…25?. Nadanya mulai memelas.

“Lima belas boleh, saya ambil”. Kataku cepat, sambil mengangkat langkah menyeret aa. Kalau ini merupakan etiket tawar menawar. Si Penjual nurunin harga, kita naikin harga tawaran. Bila tidak mau menaikkan harga tawaran, itu sama saja dengan tidak niat beli. Namun, bila tampaknya tawar menawar menjadi alot, sementara udah kepengen, tanya aja harga pasnya berapa. Ini akan jadi acuan buat perbandingan di tempat lain.

Karena limabelas ribu merupakan harga taksiranku, dan aku yakin harganya emang segitu. Aku ngotot pergi, kalau dia gak ngasih ya udah cari ditempat lain.

Tiba-tiba…

“Duapuluh, deh”. Aa menyela pertarunganku yang sedang seru-serunya dengan si Abang Penjual Korek Gas.

*Sigh*

“Ya…boleh, deh”. Secepat kilat si abang menyetujui. Bahkan sebelum aku sempat melotot pada aa. Uuhh, jelas aja boleh, harusnya harganya memang 15 rebu kok!

Aa langsung berbinar, lalu mengambil korek yang dia incar. Aku tidak tega merusak keriangannya. Jadi kubiarkan saja si Abang tersenyum penuh kemenangan.

“Ini atau ini ya, dik?” tanya aa memastikan lagi. Setelah dua-duanya dicoba, aku memilihkan yang warna metalik, tipis, dan manis dengan logo Harley Davidson, alasanku karena nyala apinya hijau terang. Aa setuju.

Sebelum dibayar, aku meminta si Abang menambahkan gasnya. Aa tersenyum puas, sambil menggenggam korek gasnya dengan erat layaknya bocah yang mendapatkan mainan yang diidamkan.

Duh Aa…kalau lagi begini manjanya bikin aku gemezzz!

Tulisan 3

Dulu waktu masih bujang, saat pulang ke kampung saya selalu nanya ke tukang ojek yang akan mengantar saya dari tempat pemberhentian bis di kecamatan ke kampung saya yang ndeso pelosok itu, "Berapa Mas?"

Bukan karena saya kuatir ndak mampu mbayar, saya cuma pengen ngetes seberapa tingkat ketulusan dia jadi tukang ojek. Setau saya harga wajar ojek ke rumah waktu itu sekitar 6-7ribu, kalo dia nawarin seharga itu biasanya orangnya saya kasih 10-15 ribu. Tapi kalo dia nawarin 15 ribu saya akan tawar dengan agak ngotot sampe turun jadi 6-7ribu, dan ndak akan saya tambahi!

Tawar-menawar memang bukan melulu soal memberi sesedikit mungkin untuk memperoleh hasil maksimal, bukan hanya soal kemampuan dan kebutuhan, tapi juga soal kepuasan.

Suatu saat waktu lagi jalan di Malioboro saya naksir sama sebuah hiasan meja berbentuk gitar kecil, saya tanya, "Berapa Mas?"

Kata penjualnya, "50 ribu saja, murah."

Saya punya temen yang pernah jualan di Malioboro, dia bilang penjual di situ ada yang menawarkan barang dengan harga dua kali lipat harga sebenarnya. Hal itu dilakukan karena jarang orang yang berani nawar hingga separo harga, sehingga berapapun nanti harga yang disepakati dia akan dapet untung.

Itu terbukti, saya ndak berani nawar separo harga, "35 ribu yo Mas?"

Penjualnya langsung mengangguk. Barang dibungkus dan saya pergi dengan hati ndongkol, dalam hati saya mbatin, "Asem! Harusnya tadi ditawar lebih rendah lagi!"

Sampeyan mungkin juga pernah merasakan hal yang sama. Bukan karena duitnya, tapi lebih karena tawar-menawar yang dilakukan rasanya ndak maksimal. Rasanya kurang lega. Beda kalo misalnya saya sampe ngomong, "Ndak mau ya sudah!" Pura-pura pergi dan kemudian penjualnya memanggil untuk mengiyakan. Ritual yang hampir basi tapi tetep menyenangkan.

Makanya walaupun rasanya agak miris tapi saya bisa memahami mbok-mbok di pasar yang kadang untuk harga seratus dua ratus perak saja masih pake nawar. Bukan masalah duitnya, tapi kepuasan batin.

Berarti tawar menawar hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dengan itung-itungan ekonomis, serta untuk mencari kepuasan batin?

Tulisan 4

Hush hus,you go, you cheap person”, kalimat inilah yang dikatakan salah satu pedagang penjepit rambut di Ladies Market kepada calon pembelinya ketika menawar. Apa yang akan anda lakukan jika menghadapi pedagang seperti ini? Bukankah seorang pembeli adalah seorang raja?

Udara sore yang semakin dingin seakan menusuk kulit. Hal ini seolah sirna saat memasuki kawasan Ladies Market di Tung Choi Street, Mong Kok, utara Hongkong Island. Tenda bergaris warna-warni, besi-besi pemancang yang membentuk lapak-lapak kecil pedagang menghiasi perjalanan para pelancong di kiri dan kanan. Aneka barang-barangpun diperjual belikan. Hiruk pikuk di pasar ini membuat orang serasa tidak berada di negara berkembang bekas jajahan Inggris ini.

Salah satu daerah Hongkong yang paling ramai adalah Mongkook, disinilah lokasi Ladies market. Pasar merupakan pusat wisata dan perbelanjaan turis yag menghasilkan devisa serta meciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Ladies Market berasal dari bahasa Inggris yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia adalah pasar wanita. Pasti tergambar di benak anda, pasar ini sebagai pasar yang didatangi dan menjual keperluan wanita semata. Ternyata tidak, Ladies Market merupakan pasar terbuka yang menjual bermacam-macam kebutuhan baik pria maupun wanita. Tidak seperti namanya yang digambarkan hanya memfokuskan pada kebutuhan wanita saja. Di pasar ini baik pria maupun wanita bercampur baur memenuhi pasar ini. Pasar ini buka dari siang sampai pukul 23.00 waktu Hongkong.

Barang-barang yang dijual di pasar ini merupakan barang-barang produksi China sehingga jika anda melihat ada bermacam-macam merek terkenal baik jam,sepatu ataupun tas, itu semua aspal (asli palsu).

Jika anda bepergian ke Hongkong pastilah Ladies Market merupakan salah satu tempat yang sangat direkomendasikan oleh travel agensi atau orang-orang yang pernah berkunjung kesana. Lalu hal yang menarik bagi anda adalah informasi mengenai barang yang dapat ditawar dan murah.

Pada dasarnya Ladies Market tidaklah berbeda dengan pasar yang ada di Jakarta seperti Mangga Dua, Glodok dan Pasar Baru. Bahkan harga yang ditawarkanpun tidak berbeda jauh, karena para pedagang mengetahui bahwa kita pendatang, biasanya mereka semua sepakat akan memberikan harga yang sangat tinggi terlebih dahulu rata-rata sekitar HK$ 200 – HK$ 800. Jika kita pintar menawar, harga akan turun tapi itupun tidak terlalu beda jauh dengan harga di Jakarta.

Tapi berhati-hatilah dalam menawar barang yang ingin dibeli, salah-salah anda kena semprot para pedagang disana. Pedagang di Ladies Market ini sangat terkenal dengan ketidakramahan mereka saat melayani pembeli. Pada awalnya mereka terlihat ramah saat menawarkan barang-barangnya, hal ini untuk menarik perhatian kita untuk berkunjung dan melihat –melihat. Biasanya ketika kita ingin tahu harga barangnya mereka akan menyodorkan kalkulatornya dan jika kita tidak cocok dengan harganya mereka akan menyuruh kita menuliskan harga yang kita mau di kalkulator. Ketika mereka tidak cocok dengan harga yang kita mau, mereka akan membanting kalkulatornya, mengusir, dan mengatai kita dengan kata-kata kasar dalam bahasanya, seperti, “Sen Ching Ping!” yang artinya orang gila.

Tempat-tempat wisata biasanya menawarkan hal-hal yang menarik, memberikan kesan yang baik sehingga membuat orang ingin kembali ke tempat tersebut. Selain itu orang baik maupun orang jahat (penipu) yang merupakan pedagang, penduduk asli di tempat wisata pastinya bersikap ramah dan melayani kita dengan sangat baik. Tapi lain halnya dengan pasar yang satu ini.

Anehnya tetap saja tempat ini ramai dikunjungi wistawan dan bertahan sampai sekarang. Padahal para pedagang disana berjualan dengan emosi seperti saat Jenifer yang merupakan wisatawan Belanda ini yang menawar harga tas yang dibelinya dan berhasil, tapi ketika sang pedagang membungkus tasnya sang pedagang menggrutu dan marah sendiri karena kalah. Apalagi ketika teman Jenifer datang, sang pedagang berteriak,”You go! You can not, just her! You go!”

Setelah menyelesaikan transaksinya kami hampiri Jenifer dan bertanya bagaimana perasaanya berbelanja di Ladies Market ini. Ia pun menjawab cukup senang karena barang-barangnya yang dapat ditawar, baginya harga barang-barang disini sangat murah dan barangnyapun menarik karena ada yang tidak dapat dijumpai negaranya seperti barang-barang oleh-oleh khas Cina.

Ketika kami menanyakan tentang sikap para pedagangnya, iapun berkomentar bahwa mereka sangatlah tidak ramah, beda sekali dengan pedagang-pedagang di negara asia lainnya yang pernah ia kunjungi seperti Thailand. Pedagang-pedagang di Thailand sangatlah ramah dan memberikan service yang sangat memuaskan, mereka melayani pembeli bagaikan seorang raja. Walaupun begitu ia tetap berkata akan kembali lagi kesini dengan alasan, baginya tawar menawar merupakan hal yang menarik dari Ladies Market.

Selain Jenifer, ternyata kami juga bertemu dengan Lanny, wisatawan asal Indonesia disana, baginya lebih baik berbelanja di pasar negara sendiri daripada disini. Karena ia merasa sikap para pedagang sudah sangat keterlaluan, lagipula barang-barang yang ditawarkanpun ada semua di Jakarta. Sehingga apa yang ia bayangkan tentang Ladies Market jauh berbeda dengan kenyataanya. Baginya tidak ada bedanya dengan pasar Melawai di Blok M yang berupa lapak-lapak.

“Nyuruh-nyuruh nawar malah kena damprat”, itulah yang dirasakan para wisatawan saat berkunjung ke pasar ini. Lalu apa alasan para pedagang bersikap kurang ramah. Akhiem (45), penjual aksesoris imitasi mengatakan bahwa tidak semua pedagang disini seperti itu. Orang China yang ada di pasar memang mempunyai sikap yang terlihat kurang ramah karena memang itu gaya bicara mereka yang suka berteriak-teriak. Sehingga terkadang orang dengan kebangsaan lain mempersepsikan hal itu sebagai tindakan yang sama sekali tidak menghargai pembeli. Jika antar orang China itu sudah biasa. Jika yang berkata-kata kasar, mungkin pedagangnya sedang stress karena sepi pembeli dan daganganya ditawar dengan harga yang tidak rational. Bagi para pedagang disini turis-turis khususnya turis Asing mempunyai banyak uang jadi mereka menawarkan harga tinggi.

Pada dasarnya kehidupan masyrakat Hongkong sangatlah sejahtera karena perhatian pemerintah yang sangat mendalam terhadap mereka. Sehingga rata-rata penduduknya dapat menggunakan barang-barang yang bermerk diluar itu asli ataupun palsu. Tapi seharusnya rata-rata asli karena harga barang bermerk asli d Hongkong jauh lebih murah dari di Indonesia karena tidak dikenakan pajak.

Pemerinah Hongkong juga membuat program yang sangat baik yaitu memberikan tempat tinggal yang layak serta beasiswa terhadap keluarga yang tidak mampu sehingga keluarga tersebut bisa bertahan hidup, dengan syarat setelah lulus sekolah anak tersebut harus dapat membantu negara, sehingga ada timbal balik.

Karena itulah para pedagang-pedagang tersebut sudah merasa culup sejahtera dan tidak menurunkan derjata diri sebagai orang yang memerluka uang dari pembeli, bagi mereka lebih baik dapat menjual sedikit barang dengan harga yang pas bagi mereka daripada banyak barang tapi dapat untung yang sedikit.

Tulisan 5

Temen Gw yg Bego tawar-menawar
Ini pengalaman gw waktu rekreasi ke Borobudur, Jogjakarta.. waktu itu gw lagi bareng temen gw, truz gw kebelet pengen kencing.. untungnya jarak toilet gak begitu jauh.. tapi sebelum pergi ke toilet, tiba-tiba ada pedagang asongan nawarin minuman botol ke gw sama temen gw.. terjadilah percakapan..
percakapan season 1
Pedagang asongan : mas, minumannya mas..??
Gw : maaf bu, gak haus..
Temen Gw : berapaan bu??
Pedagang asongan : 3000 sebotol mas..
Gw : (udah gak tahan kebeletnya)Bro gw ke Toilet dulu ya..
Temen Gw : ya udah bro, cepetan sono.. gw tunggu disini..
akhirnya gw pergi ke Toilet juga.. ahh.. lega, akhirnya keluar juga.. setelah balik dari Toilet gw hampiri temen gw tadi..
percakapan season 2
Temen Gw : nih bro, buat loe..(sambil kasih ke gw sebotol minuman yg dibelinya dari pedagang asongan tadi)
Gw : beli berapa loe..??
Temen Gw : 10rb dapet 3..
Gw : (kaget..!!)Hah.. tadi kan tawarnya 3000 sebotol..
Temen Gw : emang kenapa.. gw tadi udah nawar koq waktu beli..
Gw : emang loe nawarnya gimana bro koq sampe jadi lebih mahal gitu..(penasaran)
Truz akhirnya setelah temen gw cerita kurang lebihnya seperti ini percakapan waktu terjadi transaksi jual beli minuman :
percakapan lanjutan season 1
Temen Gw : 2000 deh bu..
Pedagang asongan : gak bisa mas..
Temen Gw : 2500 lah..
Pedagang asongan : gak bisa mas.. udah pas itu 3000..
Temen Gw : ya udah deh bu.. 10rb 3botol gimana..
Pedagang asongan : boleh mas.. ini(sambil mengasihkan 3botol minuman tadi kemudian menerima uang kertas lembaran 10rb dari temen gw dan langsung pergi cepat-cepat)

akhirnya dia sadar juga setelah cerita ke gw.. trus dia bilang,"walah, malah rugi donk gw klo gitu". entah kenapa koq otaknya baru nyaut setelah ceritain tadi.. longor juga yah otak temen gw tadi.. masa' pengen nawar malah jadi lebih mahal.. lebih parahnya lagi dia gak sadar waktu beli tadi.. weleh-weleh..

Tulisan 6

PERNIAGAAN selalu terjadi setiap waktu di berbagai tempat di berbagai penjuru dunia.
Dua orang bertemu untuk melakukan transaksi jual beli. Sejak dari sistem barter hingga
menggunakan peranti finansial, baik uang giral ataupun kartal, setidaknya ada upaya untuk
melakukan tawar- menawar sebelum terjadi transaksi yang disepakati kedua belah pihak.
Ada seni tersendiri dalam melakukan tawar-menawar. Antara penjual dan pembeli berupaya
mendapatkan hasil yang terbaik dalam ukuran mereka masing-masing. Penjual berusaha
mendapat hasil terbaik dengan menjual barang pada tingkat harga yang memberikan margin
(keuntungan) terbesar di atas harga pokok. Sementara pembeli berusaha pula memperoleh
barang yang terbaik dengan harga serendah mungkin dan mendekati harga pokok.
Dua kepentingan itu yang diupayakan untuk bertemu saat negosiasi atau tawar-menawar
harga. Susahnya kalau konsumen tidak menguasai teknik bernegosiasi saat membeli barang.
Kecuali kita mengajak orang yang piawai menawar. ”Dia pintar nawar, jadi
mendingan ditemani dia saja kalau mau beli barang.” mungkin kalimat itu pernah kita
dengar. Repotnya kalau sedang perlu barang, sementara teman atau saudara yang jago menawar
harga sedang tidak ada.
Ada sejumlah trik yang ditawarkan Istijanto dalam buku ”Seni Menaklukkan Penjual
dengan Negosiasi”. Trik yang digunakan mulai dari ucapan, bahasa tubuh, hingga mimik
wajah. Tujuannya agar pedagang memperbaiki tawaran harganya.
Terkadang meski harga barang tidak bisa ditawar, masih ada peluang negosiasi dengan
menawar kompensasi lain. Misalnya, pedagang sudah tidak bisa menurunkan harga jual,
pembeli masih bisa menawar barang diantar ke tempat tanpa tambahan ongkos angkut, atau
meminta tambahan bonus barang lain yang kalau dinilai dengan uang sebenarnya merupakan
pengurangan harga barang utama.
Selain contoh dan trik menawar barang, ada sejumlah ilustrasi dan foto pada buku karya
Istijanto yang memperlihatkan bahasa tubuh dan mimik pembeli untuk memengaruhi pedagang
agar memperbaiki penawaran harga. Pembeli juga harus bisa menahan diri untuk tidak
langsung membeli pada tawaran pertama. Bisa saja di toko lain ada barang yang serupa atau
lebih baik dengan harga jual lebih rendah dari sebelumnya.
Cara lain untuk mengetahui harga yang kita tawar sudah mendekati harga pokok adalah
ucapan pedagang semacam, ”Silakan cek di toko lain. Kalau ada yang lebih murah lagi
silakan.” Nah, kesempatan itu bisa kita lakukan untuk mencek harga di beberapa
toko lain. Kalau pedagang itu jujur, berarti harga yang ditawarkan sudah mendekati harga
pokok. Dia berusaha untuk melepas barang itu secepatnya. Selamat menawar.*Judul buku : Seni Menaklukkan Penjual dengan Negosiasi
Pengarang : IstijantoTebal : 206 halaman, Edisi : Maret 2007

Sumber:
Diambil dari berbagai situs cuma dah lupa link-nya...:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar