Menghadirkan Tuhan melalui Idul Fitri

IDUL Fitri dalam konteks keindonesiaan, yang sedang dibalut berbagai krisis, merupakan runtutan proses spiritual setiap pribadi 'yang beriman' menuju kehidupan autentik (authentic), yakni to be sensitive to the reality atau kepekaan terhadap seluruh eksistensi diri. Kehidupan autentik adalah kehidupan suci (the sacred life) yang sadar dan insaf terhadap segala partikular manusia, sebagai hamba Tuhan dan anggota masyarakat. Ia merupakan simbol kesejatian fitrah manusia, yang memiliki keseimbangan antara 'aku' dan 'mereka', serta keselarasan porsi spiritual dan material.

Dalam konteks keseimbangan antara 'aku' dan 'mereka', keseimbangan porsi spiritual dan material, seharusnya setiap pribadi 'yang beriman', mampu meletakkan organ pemikiran rasional berjalan beriringan dengan fenomena global kehidupan nyata, yang di dalamnya tumbuh semangat progresif untuk perbaikan hidup manusia. Pola seperti ini untuk mengikis habis aura mitos yang sering bersemayam di tubuh kita sehingga sulit menciptakan ruang-ruang kesadaran baru.

Kesulitan membongkar aura mitos disebabkan kita sering dibayangi persoalan masa lalu, yang telah diletakkan para pendahulu. Padahal, kehidupan spiritual mereka (para pendahulu itu) dalam memandang persoalan kehidupan agak berbeda. Secara khusus menurut Johannes Sloek, manusia masa lalu mengembangkan dua cara berpikir, berbicara, dan memperoleh pengetahuan, dua cara yang oleh para ilmuwan disebut mitos dan logos (lihat Devotional Language, 1996). Tentu saja, ini sekadar mengingatkan berkaitan dengan Idul Fitri, bahwa kembali ke dalam fitrah tidaklah semudah membalik telapak tangan kita. Menghadirkan Tuhan ke dalam realitas sehari-hari membutuhkan berbagai perangkat, tidak sekadar pada level wacana, tapi pada wilayah yang lebih konkret, kerja nyata, yang dirimbuni nuansa spiritual. Melalui Idul Fitri inilah, manusia dituntut memaknai kembali fitrah kemanusiaannya.

 Jika dalam paradigma modernisme kebermaknaan dilihat dari ukuran material, dengan Idul Fitri kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuannya dalam mentransendensikan dirinya, melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih dengan sesama manusia. Upaya kebermaknaan ini salah satunya sebagai barikade untuk membendung arus globalisasi yang sering menjebak manusia pada upaya melupakan nilai-nilai kodrati, yang hadir dari sang Mahasublim. Nilai-nilai kodrati, yang di dalamnya menghimpun ruang-ruang kesadaran pribadi manusia, seharusnya hadir bersamaan ruang gerak kehidupan manusia sehari-hari. Tapi fenomena luar, yang tumbuh berbarengan dengan arus globalisasi, mendesak manusia untuk melupakan bahkan meminggirkan nilai-nilai kodrati itu. Dari sinilah globalisasi menggilas kesadaran manusia untuk becermin dan melihat diri kembali.

Tapi benarkah arus besar globalisasi selalu menghadirkan nilai-nilai buruk bagi kesadaran manusia? Bukankah kesadaran pribadi manusia bisa dibentuk melalui berbagai ragam kesadaran, agar ia selalu mengenang nilai-nilai kodrati di tengah arus besar globalisasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah, memasuki Idul Fitri, seharusnya dijadikan momentum untuk becermin, melihat realitas hidup yang memiliki kebermaknaan itu. Kesadaran sosial Untuk itu, dalam konteks ritual Idul Fitri, meski fungsi manifesnya--sebagaimana umat Islam memahami dan mengekspresikannya--adalah untuk mengakhiri tapa brata, tapi fungsi laten ritual Idul Fitri, pada gilirannya, adalah menciptakan kesadaran sosial yang menggiring ke gerakan kesadaran eksistensial, mengentaskan orang dari kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat. Minimal bagi orang-orang yang masih terikat pada nilai-nilai Idul Fitri, seharusnya momentum Idul Fitri dijadikan instrumen ilahiah untuk memahami persoalan-persoalan duniawi, termasuk di dalamnya soal tugas sehari-hari.

Untuk itu, jika kita mengakui agama sebagai instrumen ilahiah, Islam khususnya, memiliki ciri yang menonjol, 'hadir di mana-mana' (omnipresence). Ini dengan asumsi bahwa Islam merupakan totalitas yang menawarkan pemecahan terhadap seluruh persoalan kehidupan. Asumsi ini juga mempertegas bahwa Islam meliputi tiga D; din, agama, dunya, dunia, dan daulah, negara. Maka, jika Alquran telah menceritakan adanya tawar-menawar metafisis, yang mengisyaratkan bahwa manusia menurut fitrahnya, tanpa memandang ras, suku, dan bangsanya adalah beragama, ia tidak dapat memungkiri kehadiran Tuhan. Sekeras apa pun resistensi manusia, suara Tuhan tidak akan sampai hilang, paling hanya terdengar sayup-sayup. Inilah persoalan menentukan (crucial problem) yang selalu menghinggapi manusia ketika menapaki hidupnya. Suara Tuhan yang terefleksikan dalam hati sanubari sering terkalahkan oleh bisikan setan. Di sinilah, Idul Fitri memainkan perannya.

Melalui refleksi Idul Fitri kita diajak untuk menebas sekat-sekat yang menghalangi suara Tuhan itu terdengar dengan jelas. Bahkan lebih daripada itu, kita diajak untuk menemukan dan 'menghadirkan' Tuhan dalam kehidupan yang nyata. Untuk itu, sejalan dengan makna Idul Fitri, kembali ke kesucian, seharusnya kesucian digapai setelah menjalankan ibadah puasa wajib selama satu bulan penuh, yang dilengkapi dengan membayar zakat fitrah. Meski aroma pragmatisme-hedonistik lebih dominan ketimbang menyajikan sebuah prosesi kesadaran sebagai umat beragama, tapi substansi kebermaknaan Idul Fitri, seharusnya tetap menjadi jangkar dalam kehidupan. Seperti kita ketahui bersama, maksud merayakan secara tradisional adalah mengedepankan aroma materialisme ketimbang mendahulukan substansi inti dari Idul Fitri. Tapi kesucian selama puasa Ramadan harus direfleksikan dalam tugas-tugas kemanusiaan. Yakni, kerja keras dan kerja cerdas. Memang, Islam menjunjung tinggi aktivisme. Artinya, kerja atau bergerak adalah bagian dari hasil kesucian.

Karena dalam doktrin Islam manusia diciptakan untuk berlomba dalam kerjanya. Dalam tataran itu, inilah bentuk sumbangan Islam terhadap realitas kehidupan. Bahwa Islam tidak hanya menyandarkan diri pada bentuk ibadah-ibadah formal, tapi di luar ibadah formal, kehidupan riil di masyarakat juga tidak kalah penting. Kesadaran ini tidak lepas dari etos kerja warga negara yang terus-menerus, yang memiliki orientasi membangun masa depan kehidupan yang lebih baik. Etos kerja ini tidak lepas dari kesadaran dan tanggung jawab warga negara akan pentingnya masa depan yang lebih baik. Masa depan yang di dalamnya tumbuh kehidupan masyarakat yang bebas dari belenggu kemiskinan, belenggu korupsi, belenggu ketidakadilan dan belenggu keterbelakangan.

Ini semua akan tercapai jika setiap warga negara memiliki kesadaran bahwa kehidupan yang lebih baik itu tidak sekadar kewajiban negara atau pemerintah, tapi juga menjadi tanggung jawab bersama warga masyarakat. Ini artinya, kondisi lifeworld yang terjadi di masyarakat membutuhkan pilar-pilar penyangga yang bisa diterima semua pihak. Lifeworld di sini, seperti yang pernah dipaparkan Jurgens Habermas, adalah kesepakatan-kesepakatan sosial yang telah terbentuk dalam tradisi, kebudayaan, bahasa yang dikomunikasikan dalam praktik keseharian di suatu komunitas.

Ia juga mencakup khazanah pengetahuan (stock of knowledge), sumber keyakinan-keyakinan (reservoir of conviction), solidaritas, dan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan digunakan secara otomatis oleh para anggota komunitas. Betapa pun perbuatan yang terjadi pada kehidupan manusia di bumi, namun hakikat kemanusiaan akan tetap dan tidak bakal berubah, yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan manusia sendiri. Respons manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal, adalah kelanjutan dan eksternalisasi dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini. Pada titik ini, setelah Idul Fitri mestinya akan terjadi reformasi kualitas hubungan sosial dalam masyarakat. Orang per orang atau kelompok per kelompok akan menghindarkan diri dari segala bentuk friksi dan konflik kepentingan, yang menjurus pada perusakan dan perenggangan hubungan sosial.

Prakarsa Rakyat, M Harry Mulya Zein, Direktur Eksekutif Yayasan Akhlakul Karimah
Tanggal:     02 Nov 2005
Sumber:     Media Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar