Posted by Gede Prama on 2007-03-21 , http://www.iloveblue.com/
Ketika seorang guru ditanya evolusi jiwa manusia
ratusan tahun terakhir, dengan diam sebentar, menatap mata lalu menjawab,
"dari gelap ke gelap".Dari ketidakpuasan satu ke ketidakpuasan lain. Dari
konflik satu ke konflik lain.
Melihat kehidupan bergerak begini, sejumlah orang desa yang polos bertanya, mengapa kemajuan iptek harus seperti ini? Maafkanlah
keluguan. Andaikan keluguan ini dijawab dengan data, angka, logika, mungkin
sinyalemen "dari gelap ke gelap" akan tambah panjang. Angka dilawan
angka. Logika mengundang serangan balik logika.
Karena demikian keadaannya, izinkan sekali-sekali
bukan angka, bukan logika yang bicara, tetapi sepi sunyi. Tidak dalam posisi
menyebut sepi benar, yang berbeda salah. Sekali lagi tidak. Serupa dengan mulut
manusia, gigi wujudnya keras karena tugasnya memotong dan menghancurkan. Lidah
bentuknya lembut karena panggilan hidupnya bukan untuk menghancurkan, tetapi
merasakan.
Keduanya punya tugas lain. Dengan spirit seperti
inilah, sepi sunyi dalam tulisan ini mohon izin bicara.
Sejak dulu, pencinta sepi selalu tidak banyak. 0rang
yang bertapa di kesunyian selalu lebih sedikit dibanding mereka yang mencari di
keramaian.
Keduanya bertumbuh. 0rang-orang keramaian menyukai
bertumbuh ke luar (dengan ukuran kekaguman pujian orang), sedangkan pencinta
kesunyian menyukai bertumbuh ke dalam. Kekaguman dan pujian orang dihindari
karena penuh godaan ego.
Melihat bulan dengan lampu
Satu contoh yang amat menerangi di jalan sunyi adalah
pertapa suci Ramana Maharshi. Sampai umur 16 tahun tidak ada tanda ia akan jadi
pertapa. Begitu berkenalan dengan perjalanan ke dalam diri, tiba-tiba badannya
panas. Ini membuatnya lari ke Bukit Arunachala. Lebih dari sekadar panasnya
menghilang, ia menikmati kesunyian di tempat ini. Bahkan selama puluhan tahun
menghabiskan hidup yang sepenuhnya diam.
Saat mengakhiri diamnya, Ramana menjawab pertanyaan
orang secara mengagumkan hanya dengan segelintir kata. Dari situ didirikan
ashram oleh banyak pengikutnya di sekitar tempat ia bertapa. Tiap kali ditanya
siapa gurunya, ia menggeleng sambil bergumam, "The ultimate consciousness
is the only teacher" (Kesadaran yang mahautama itulah gurunya).
Serupa dengan ini, di sejumlah perenungan dengan
judul agama yang berbeda-beda, banyak murid diminta diam. Awalnya percakapan ke
luar menghilang, diganti percakapan ke dalam. Akhirnya percakapan ke dalam pun
menghilang. Dan yang tersisa hanya satu, yakni kesadaran. 0rang-orang yang
sudah disinari cahaya kesadaran, akan bergumam, untuk melihat bulan tidak
memerlukan lampu!
Kata-kata, logika, angka mirip lampu luar. Manusia
membutuhkan saat gelap.
Namun, dalam terang cahaya kesadaran, manusia tidak
memerlukan lampu luar.
Salah satu founding father kehidupan spiritual Bali (Dang Hyang Dwijendra) menulis Kakawin Dharma Sunya.
Ia bertutur, jika batin yang tenang-seimbang adalah sumber keindahan. Bila
sumber keindahan sudah di dalam, masihkah manusia memerlukan lampu penerang
dari luar? Dalam bahasa provokatif seorang guru, "When you still have some
one who can make you happy or sad, you are not a master, you are a slave!"
(Jika sumber kebahagiaan/kesedihan masih dari luar, itu tandanya seseorang
belum menjadi master, masih jadi budak).
Apresiasi akan sepi memang bukan monopoli Bali. Lama Surya Das (Awakening the Buddha Within) pernah
menulis bahwa puncak perjalanan menemukan perkataan yang benar adalah hening.
Eckhart Tolle (Stillness Speaks) juga serupa, "wisdom comes with the
ability to be still. Just look and just listen... let stillness direct your
words and actions" (Kearifan datang dari keheningan. Lihat dan dengar
saja... biar keheningan yang menjadi pembimbing). Thomas Merton (Thoughts in
Solitude) menambahkan, "My knowledge of myself in silence... opens out
into the silence... of God" (Pengetahuan diri dalam keheningan membuka
rangkaian keheningan yang berujung pada Tuhan).
J Krishnamurti (The Light in Oneself) menyarankan,
meditation is absolute silence of the mind (meditasi adalah keadaan batin yang
sepenuhnya hening).
Dainin Katagiri (Returning to Silence) menulis,
Shakyamuni is some one who practice tranquil silence (Siapa saja yang
mempraktikkan kesempurnaan keheningan, ia menjadi Buddha). Murid-murid Zen yang
perjalanannya suka menekuni latihan silent illumination. Penyair sufi Rumi bertumbuh
jauh dalam sepi. Perhatikan salah satu syairnya (The Rumi Collections): when
you know your own definition, flee from it, that you may attain to the 0ne who
cannot be defined (Saat Anda dipagari kata-kata, cepat-cepatlah menjauh. Ia
menghalangi mencapai yang Satu yang tidak terucapkan).
Dengan cerita ini, terlihat banyak manusia yang
terterangi rapi oleh sepi sunyi. Ia melewati banyak sekat tradisi. Dari Sufi,
Nasrani, Buddha, sampai Hindu. Jenis manusia-manusia ini memiliki pola
pertumbuhan serupa. Logika dan kata-kata ibarat kulit dan batok kelapa. Di awal
manusia membutuhkan.
Namun, begitu dikupas dan dibuka, kelapa dimakan,
airnya diminum, kulit dan batoknya dibuang.
Mikhail Naimy (The Book of Mirdad) lebih terang lagi.
Kata, logika serupa tongkat, berguna bagi mereka yang kakinya bermasalah. Bagi
jiwa yang kakinya sehat, tongkat hanya beban. Lebih-lebih jiwa yang bisa
terbang, tongkat adalah beban berat.
Selamat hari raya Nyepi dan Selamat Tahun Baru Saka
1929.
Gede Prama Penulis Sejumlah Buku, Tinggal di Desa
Tajun, Bali Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar